Wednesday, August 17, 2016

Membiasakan anak membuat keputusan untuk diri sendiri dan bertanggung jawab atas keputusan tersebut.


Cerita ini  tentang anak saya yang masih di kelas 5 SD.
Anak saya baru pindah ke sekolah yang memiliki pelajaran bahasa Mandarin. Dari tidak pernah belajar sama sekali, kemudian harus mulai mengejar ketinggalan pelajaran Mandarin yang sebenarnya sudah diajarkan sejak TK di sekolah tersebut. Belum lagi ditambah dengan lingkungan sekolah dan teman yang baru semua.
Sejak minggu pertama sekolah, anak - anak saya sudah mulai dengan pelajaran Mandarin tambahan sepulang sekolah. Mulai yang dasar sekali, dia perlahan berusaha menghafal cara baca, cara tulis dan arti kata.
Hingga awal minggu keempat sudah mulai ada test. Kebetulan hari itu dia istirahat di rumah karena masih batuk dan pilek. Sejak pagi, saya sudah ingatkan untuk membereskan pekerjaan rumahnya untuk besok. Dia hanya mengatakan bahwa Mandarin mau belajar dengan gurunya nanti sore, sementara pagi hari dia putuskan untuk belajar yang lain.

Setelah belajar Mandarin dan makan malam, dia masih meminta saya untuk membantunya belajar Mandarin karena besok ada test dan dia merasa belum siap. Saya pun dengan senang hati membantunya berlatih menulis dan menghafal arti. Saat sudah waktu tidur dan saya meminta untuk mengakhiri belajarnya, terdengar tangis perlahan. Saya tanya kenapa. Ternyata dia tetap merasa belum siap untuk test Mandarin besok.
Hmmmmm......... serasa kesal juga, karena saya sudah ingatkan sejak pagi untuk belajar yang diperlukan untuk keesokan hari.
Tapi, alih - alih marah..... saya cukup menenangkan saja bahwa apa yang sudah dia persiapkan itu cukup untuk test besok, supaya dia tidak cemas dan beranjak tidur.

Keesokan harinya....., sambil berkendara mengantar anak saya ke sekolah , saya mengajaknya untuk berandai - andai tentang keputusannya kemarin. Bahwa seandainya dia memutuskan pagi itu untuk langsung belajar Mandarin, maka waktu untuk belajar lebih lama dan ia akan menjadi lebih siap. Karena dia menundanya untuk belajar sore hari, dan ternyata waktunya kurang, maka ia menjadi cemas akan test pagi ini. Jadi...., hasil test hari ini adalah apa yang sudah ia persiapkan sepanjang sore hingga malam hari kemarin. Saya mengajaknya melihat akibat dari keputusannya kemarin pagi serta mengambil pelajaran dari hal tersebut.

Saat saya antar ke kelasnya, saya melihat keyakinan di matanya, bahwa dia sudah siap menghadapi test Mandarin hari ini sesulit apapun, karena itulah resiko keputusan yang sudah dibuatnya kemarin.

Itulah masa anak - anak... berlatih membuat keputusan dengan mempertimbangkan konsekuensi keputusannya. Sejalan dengan perkembangannya nanti, mereka akan belajar membuat keputusan tidak hanya mempertimbangkan konsekuensi bagi diri sendiri tetapi ditambah juga  bagi orang lain, dan memasukkan nilai nilai baik dan benar dalam pengambilan keputusan.

Berharap anak - anak terus belajar  melalui apa yang dialaminya sehari - hari menjadi bekal pemahamnanya akan sesuatu yang baik dan benar.

Semoga............








Wednesday, May 11, 2016

Perspektif lain tentang sebuah kompetisi.

Minggu lalu ada lomba renang untuk anak anak di komunitas kami. Sudah lama kompetisi renang ini tidak diadakan. Jadi saat kemarin dibuka pendaftaran lomba, maka para orang tua sangat antusias mendaftarkan anaknya untuk berpartisipasi. Termasuk juga saya,  selain mendaftar lomba, juga mengikutkan anak dalam program pelatihan 3 hari yang disediakan panitia menjelang perlombaan.

Saat hari lomba....,  kolam renang ramai dengan aktivitas pendaftaran ulang, pemanasan , dan persiapan lainnya. Orang tua terus memberi semangat dari tepi kolam sejak awal hingga akhir . Kami sendiri cukup melihat dari tribun, karena anak kami sudah cukup besar untuk bisa mandiri mengurus persiapannya. Beberapa perserta memiliki kemampuan yang bagus, ada beberapa yang masih perlu ditingkatkan. Ada juga yang tadinya mendaftar untuk gaya renang tertentu kemudian mundur karena tidak yakin dapat menyelesaikan lomba. Ada juga yang tetap berusaha terus sampai batas akhir. Seru melihat semua aktivitas ini....

Umumnya, kita melihat  kompetisi sebagai sebuah sarana mengukur kemampuan kita dan memperoleh penghargaan . Seringkali kemudian orang tua menjadi bias antara  tujuan positif kompetisi dengan ambisi agar anaknya memenangkan kompetisi tersebut. Jika sudah demikian, kecenderungan mengusahakan segala cara untuk menang seperti menggoda untuk dilakukan. Jika si anak menang, orang tua bangga, jika si anak kalah orang tua kecewa dan memarahi si anak. Pada akhirnya, tujuan kompetisi yang baik malah merusak perkembangan psikologis anak.

" Winning is nice if you don't lose your integrity in the process " - Arnold Horshack

Perspektif lain tentang kompetisi adalah melihat kompetisi sebagai sebuah sarana melatih kemampuan anak menghadapi apa yang terjadi dalam kehidupannya. Seorang anak yang akan mengikuti sebuah kompetisi, tentunya secara sadar mempersiapkan diri sebaiknya - baiknya untuk dapat menampilkan yang terbaik sebagai hasil dari persiapannya. Dalam diri si anak tentu ada keinginan untuk menang. Disinilah peran kita sebagai orang tua untuk mengingatkan anak bahwa menang dan kalah adalah hal biasa dalam sebuah kompetisi, karena yang terpenting adalah bagaimana si anak mempersiapkan mental dalam mengikuti kompetisi tersebut, merayakan kemenangan sewajarnya saat menang, dan saat kalah si anak tidak putus asa, bangkit  dan terus belajar. Pengalaman mengelola situasi menang kalah ini akan selalu dialami sepanjang hidup kita.

 
Selain hal menang kalah, kompetisi membuat anak belajar akan sebuah proses. Proses untuk mencapai suatu target dalam kompetisi membutuhkan kerja keras. Sebuah pencapaian apapun tidak ada yang seperti menjentikkan jari, selalu ada usaha dalam prosesnya. Ini penting juga ditanamkan pada anak.


Tanpa disadari sebuah kompetisi juga merupakan kesempatan bagi anak mengembangkan kemampuan interaksi sosialnya. Saya teringat anak saya sedang mengikuti pertandingan tennis saat itu. Sambil menunggu waktu bertanding, anak saya berteman dengan pemain - pemain dari kota lain yang terkadang menjadi lawannya juga, dan mereka terus berkomunikasi hingga sekarang.
Demikian juga dengan anak saya yang ikut lomba renang... dia dengan asyiknya menunggu sambil mengobrol dengan lawannya juga tanpa rasa cemas akan lomba renangnya itu sendiri.
Makin sering anak mengikuti kompetisi, anak makin percaya diri dalam mengikuti kompetisi lainnya dan melihat hal tersebut sebagai sebuah latihan semata. Melihat kompetisi bukan untuk melawan orang lain tetapi lebih pada kebutuhannya untuk mengembangkan potensi dan bertumbuh secara psikologis.


Semoga.....













Friday, April 22, 2016

Day 127 - True Character

True Character

Sometimes, you see people at less than their best. They raise their voice and lose their temper. Later they may apologize and said that negative behavior wasn't really them..


 
 
The pressure of life squeezes the "juice" out of people, so you can asses what is in someone's heart by the kind of person he becomes when under pressure.
 
 
Use this insight to assess your true character. You can see yourself most clearly when things are not going so well. What kind of juice comes out of you when you are under pressure? Is it the bitter juice of anger, or the sweet juice of achievement?
 
 
 
Source: "The Tao of Joy Every Day", Derek Lin, Penguin Group, New York









Tuesday, April 19, 2016

Day 119 ( Defining Yourself ) as a reminder

Defining Yourself

Lately many things happen in my daily routine.... always busy with husband and kids, have some activities with friends...., thanks be to God, that it keeps me learning and growing
This morning... after dropping of my kids at school, I read this book while I was drinking coffee at my favorite porch. ( hehehe.... I miss another favorite place to write - #Panerabread. ).
This is just a sharing about defining yourself. For me, this is a reminder always.....

There is a question....
"How do people define themselves?",
Some do so with words.
They may say, " I am a seeker," or "I am a healer", or " I am a good friend" and so on, but what if they are less than truthful? They may claim to be compassionate, only to exhibit a mean streak; they may claim to be trustworthy, only to betray your trust.
Perhaps they can be defined by their thoughts. This can be more accurate than what they say. For instance, someone who claims to be a salesman may think of himself as a predator. But what if the self-image is at odds with reality? What if someone thinks of himself as courageous, but turns out to be cowardly when the going gets rough?

The Tao of self-definition, therefore, is not based on what you say or think about yourself. Instead, it is based on what you do. You are a seeker only if you are constantly seeking. You are a healer only if you bring others back to health. You are a good friend only if you consistently play that role. The ways you affect others determine your true identity. Your actions, speaking louder than words and thought, become the definitive definition of who you really are.


Source: "The Tao of Joy Every Day" Derek Lin, Penguin Group, New York  2011

to be continued....