Wednesday, September 9, 2015

Cerita kecil dari negeri Antah Berantah


Di sebuah negeri Antah Berantah yang konon sangat indah alamnya  dengan beragam budaya , suku dan agama.

Alkisah tinggal seorang anak kecil berusia 9 tahun yang masih suka bermain bersama kawan – kawannya. Dunianya yang penuh kepolosan membuatnya ingin berteman dan bermain dengan siapa saja. Bertutur dan melihat persahabatan seperti yang diajarkan oleh orang tuanya, bahwa berteman tidak memandang suku, agama, ras, kondisi ekonomi, strata dalam kemasyarakatan, atau apapun yang membedakan satu sama lain. Ia ingin sekali mengundang teman – temannya bermain ke rumahnya.

Di suatu hari Sabtu …., pagi – pagi dengan semangat ia menelpon untuk memastikan jam berapa temannya akan datang sehingga ia akan siap menyambutnya. Sangat kecewa hatinya ketika mendengar bahwa teman yang diharapkan datang membatalkannya karena alasan yang tidak pernah terpikirkan oleh dia, seorang anak usia 9 tahun. Temannya tidak diijinkan datang bermain karena mereka satu sama lain berbeda agama….. si anak tetap berusaha membujuk dengan kepolosan hatinya, meski pada akhirnya jawaban “ tidak diijinkan orang tua” keluar dari bibir temannya dan menyisakan tanda tanya besar bagi si anak.

Merasa terusik. Saat dunia bermain anak – anak dibatasi oleh hal – hal yang tidak seharusnya menjadi masalah bahkan untuk dunia orang dewasa sekalipun. Akan menjadi seperti apa generasi si anak dan yang berikutnya jika mengkotakkan pikiran dan tindakan berdasarkan suku, agama, ras dan kepentingan kelompok tertentu?

Menilik cerita itu, pemahaman  akan hukum agama justru mengalahkan dimensi imannya. Imannya yang merupakan penghayatan sikap sikap dasar agar tercermin dalam perilaku dan tindakan sehari – hari. Baiklah menjadi seorang individu yang beriman dan bertaqwa ( bukan yang beragama ) Memang bagusnya adalah orang beragama dan beriman. Yang terpenting adalah beriman dengan agama sebagai sarana, kendaraan ataupun jalan. Agama bukan tujuan, agama bukan Tuhan. Agama sebagai sarana bertujuan membentuk sikap dan kekaryaan penuh iman, harapan, cinta kasih, suka tolong menolong, saling memperkaya, saling menganugrahkan perdamaian dan kesayangan; pembentukan suatu konvivialitas ( hidup bersama ) dan solidaritas dalam segala kebaikan ( “Kata – kata Terakhir Romo Mangun”, editor Th. Bambang Murtianto )

Ada satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari iman, yaitu budi pekerti. Budi pekerti yang menitik beratkan pada hubungan antara sesama manusia dan juga dengan alam semesta. Tugas orang tua untuk mengajarkan budi pekerti pada anak – anaknya. Dalam bahasa sederhana adalah mengajarkan mereka untuk menghargai orang lain, menghargai keberagaman, mengusahakan keberhasilan bersama, menghargai sesuatu yang baik, dan mendasarkan segala tindakan dengan kasih. Bahasa sederhana itu menjadi lebih kepada nilai – nilai universal yang juga menjadi tujuan dari agama yang sebenarnya.

Hm….. pastinya si anak akan belajar. Belajar akan keberagaman yang akan ditemui sepanjang hidupnya. Bersyukur si anak memiliki orang tua yang mengingatkan juga bahwa tidak semua temannya akan seperti itu. Masih banyak teman – teman lain yang memiliki kepolosan seorang anak untuk bermain bersama siapapun, karena itulah dunia mereka.

Semoga…………..

Sumber : “Kata Kata Terakhir Romo Mangun, editor: Th. Bambang Murtianto, Kompas , 2014

No comments:

Post a Comment