Di sebuah negeri Antah Berantah yang konon sangat indah
alamnya dengan beragam budaya , suku dan
agama.
Alkisah tinggal seorang anak kecil berusia 9 tahun yang
masih suka bermain bersama kawan – kawannya. Dunianya yang penuh kepolosan
membuatnya ingin berteman dan bermain dengan siapa saja. Bertutur dan melihat
persahabatan seperti yang diajarkan oleh orang tuanya, bahwa berteman tidak
memandang suku, agama, ras, kondisi ekonomi, strata dalam kemasyarakatan, atau
apapun yang membedakan satu sama lain. Ia ingin sekali mengundang teman –
temannya bermain ke rumahnya.
Di suatu hari Sabtu …., pagi – pagi dengan semangat ia
menelpon untuk memastikan jam berapa temannya akan datang sehingga ia akan siap
menyambutnya. Sangat kecewa hatinya ketika mendengar bahwa teman yang
diharapkan datang membatalkannya karena alasan yang tidak pernah terpikirkan
oleh dia, seorang anak usia 9 tahun. Temannya tidak diijinkan datang bermain
karena mereka satu sama lain berbeda agama….. si anak tetap berusaha membujuk
dengan kepolosan hatinya, meski pada akhirnya jawaban “ tidak diijinkan orang
tua” keluar dari bibir temannya dan menyisakan tanda tanya besar bagi si anak.
Merasa terusik. Saat dunia bermain
anak – anak dibatasi oleh hal – hal yang tidak seharusnya menjadi masalah
bahkan untuk dunia orang dewasa sekalipun. Akan menjadi seperti apa generasi si
anak dan yang berikutnya jika mengkotakkan pikiran dan tindakan berdasarkan
suku, agama, ras dan kepentingan kelompok tertentu?
Menilik cerita itu, pemahaman akan hukum agama justru mengalahkan dimensi
imannya. Imannya yang merupakan penghayatan sikap sikap dasar agar tercermin
dalam perilaku dan tindakan sehari – hari. Baiklah menjadi seorang individu yang
beriman dan bertaqwa ( bukan yang beragama ) Memang bagusnya adalah orang
beragama dan beriman. Yang terpenting adalah beriman dengan agama sebagai sarana,
kendaraan ataupun jalan. Agama bukan tujuan, agama bukan Tuhan. Agama sebagai
sarana bertujuan membentuk sikap dan kekaryaan penuh iman, harapan, cinta
kasih, suka tolong menolong, saling memperkaya, saling menganugrahkan
perdamaian dan kesayangan; pembentukan suatu konvivialitas ( hidup bersama )
dan solidaritas dalam segala kebaikan ( “Kata – kata Terakhir Romo Mangun”,
editor Th. Bambang Murtianto )
Ada satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari iman,
yaitu budi pekerti. Budi pekerti yang menitik beratkan pada hubungan antara
sesama manusia dan juga dengan alam semesta. Tugas orang tua untuk mengajarkan
budi pekerti pada anak – anaknya. Dalam bahasa sederhana adalah mengajarkan
mereka untuk menghargai orang lain, menghargai keberagaman, mengusahakan
keberhasilan bersama, menghargai sesuatu yang baik, dan mendasarkan segala
tindakan dengan kasih. Bahasa sederhana itu menjadi lebih kepada nilai – nilai
universal yang juga menjadi tujuan dari agama yang sebenarnya.
Hm….. pastinya si anak akan belajar. Belajar akan
keberagaman yang akan ditemui sepanjang hidupnya. Bersyukur si anak memiliki
orang tua yang mengingatkan juga bahwa tidak semua temannya akan seperti itu.
Masih banyak teman – teman lain yang memiliki kepolosan seorang anak untuk
bermain bersama siapapun, karena itulah dunia mereka.
Semoga…………..
Sumber : “Kata Kata Terakhir Romo Mangun, editor: Th.
Bambang Murtianto, Kompas , 2014